Sunday, October 14, 2012

Warga Desa Sikan Mengadu ke Dewan


Harian Umum Tabengan,  
PT AGU Diduga Caplok Lahan Kelompok Tani


PALANGKA RAYA – Warga Desa Sikan menduga PT AGU mencaplok lahan Kelompok Tani Bela Warga. Persoalan ini diadukan warga ke DPRD Kalteng, dan berharap ada solusi yang adil.
Sengketa lahan antara masyarakat dan perusahaan besar swasta (PBS) di Kalteng, baik perkebunan maupun pertambangan, ibarat penyakit HIV/AIDS yang hingga kini belum dapat ditemukan penawarnya. Berbagai permasalahan muncul mulai dari sengketa tanah, permasalahan tenaga kerja, hingga mininya realisasi tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat di sekitar wilayah beroperasi.
Seperti yang kembali mencuat di Desa Sikan, Kecamatan Montalat, Barito Utara (Barut). PT Atang Ganda Utama (AGU), salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit, diduga mencaplok lahan Kelompok Tani Bela Warga. Jumat (12/10), sebanyak 9  orang anggota Kelompok Tani Bela Warga mengadu ke DPRD Kalteng, melaporkan dugaan pencaplokan lahan kelompok tani seluas 1.911 hektare.  
Sembilan orang perwakilan kelompok tani itu dipimpin Muliyadi. Mereka diterima Sekretaris Komisi B DPRD Kalteng H Kamaruddin Hadi dan anggota H Iwan Kurniawan, serta anggota DPRD Kalteng dari Dapil IV Srie Alfiati Gandrung.
Muliyadi mengatakan, kedatangan mereka ke DPRD Kalteng untuk mengadu permasalahan yang mereka alami selama ini.  Lahan kelompok tani seluas 1.911 hektare telah ditanam PT AGU. Permasalahan ini telah muncul sejak 5 tahun silam, tapi hingga kini belum ada titik terang dari Pemkab Barut yang seyogyanya menjadi fasilitator dalam menyelesaikan permasalahan itu.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Komisi B DPRD Kalteng yang telah menerima dan mau mendengarkan keluhan kami. Kami ke sini untuk mengadu tentang permasalahan lahan kami yang telah dicaplok,” kata Muliyadi, diamini warga lainnya, Rosihan.
Dijelaskannya, sebelum nekat mengadu permasalahan tersebut kepada provinsi, pihaknya telah beberapa kali mengajukan kepada Pemkab Barut. Namun hingga kini belum juga ada solusi yang mereka dapatkan. PT AGU yang merupakan anak perusahaan Makin Group, memasuki wilayah mereka tanpa permisi dengan masyarakat setempat. “Mereka datang tanpa ketuk pintu dengan masyarakat. Beberapa kali kita juga sudah berkonsultasi kepada Pemkab Barut, namun belum ada tanggapan. Kita berharap dengan kedatangan kita ke sini ada titik terang yang nantinya bisa dihasilkan,” jelas Muliyadi yang juga Ketua Gerakan Pemuda Anti Korupsi (Gepak) Barut.
Kemudian ia menambahkan, dari inventarisasi yang dilaksanakan, PT AGU diduga beroperasi di luar lahan hak guna usaha (HGU) yang dikantongi. Meski demikian, mereka tetap melakukan aktivitas, seperti penanaman, yang saat ini sudah bisa dipanen oleh pihak PT AGU. Dari HGU PT AGU seluas 18.035 hektare yang dikeluarkan Menteri Agraria dalam 3 tahap, di antaranya tahap pertama SK Menteri Agraria No.23/HGU/BPN/1994 pada tanggal 10 Agustus 1994 dengan sertifikat No 1; Letak HGU terdapat di Desa Butong, Kecamatan Teweh Tengah dengan luas 3.257 hektare. No 2; SK Menteri Agraris No 90/HGU/BPN/2004 tertanggal 18 Oktober 2004. Sertifikat No 3; letak HGU terdapat di Desa Butong, Kecamatan Teweh Tengah dengan luas 6342,66 hektare. Dan SK Menteri No 41/HGU/BPN/2006 tertanggal 25 April 2006 sertifikat No.4; letak HGU terdapat di Kecamatan Teweh Tengah, Kecamatan Gunung Timang, di Desa Hajak, Kandui, Walur, Baliti, Rarawa, Majangkan, Ketapang Malung dengan luas 8436 hektare.
Dalam pertemuan yang difasilitasi DPRD Barut, ada 1 kesimpulan penting yang dihasilkan, Dimana pihak terkait agar melakukan audit terhadap luasan lahan milik PT AGU. Namun, kata Muliyadi, kesimpulan itu tidak pernah dilaksanakan sampai saat ini, karena ditolak oleh PT AGU. Hal itu tentu menjadi pertanyaan bagi mereka.
“Kita sering lakukan pertemuan, namun tidak pernah ada hasilnya. Pimpinan PT AGU selalu menolak untuk hadir. Bahkan kesimpulan pertemuan untuk audit lahan juga mereka tolak. Ini menjadi pertanyaan bagi kita, kenapa pihak PT AGU tidak mau diaudit lahanya. Padahal kita dapat mengetahui sesuai tidak dengan luasan yang ada. Di samping itu, dari 3 SK yang diterbitkan, tidak ada masuk wilayah Kecamatan Montalat, khususnya Desa Sikan. Kenapa mereka bisa menanam dan tidak ada tindakan dari pemerintah,” katanya.  sgh