Monday, July 28, 2008

Ku handel di Kaliurang

Tan Malaka (1948)

Kontributor: Diketik oleh Abdul, ejaan diedit oleh Ted Sprague (Maret 2008)


Kesekian kalinya soal Indonesia Belanda di perundingkan, sekarang di Kaliurang. Disini delegasi Indonesia berhadapan muka dengan Delegasi Belanda, ialah Kadir dan Husein, yang dimandori oleh Dr. Van Vresdenburgh.

Soal yang akan dipapar diperundingan, kita sekalian dari sudut-mata borjuis-kecil buat kapitalis imperialis Belanda.

Dan buat orang di pihak ketiga, lebih dari pada setahun lampau soal itu sebenarnya sudah selesai.

Lupakah kita kepada perkataan “WASIT” Sir Archibald Clark Karr, yang berpisah dengan soal Indonesia-Belanda dengan perkataan: It is not a difficult one but a slow one”! (Tidak sukar, tetapi lambat)!?? Bahwa sesunggunya, maka dengan maklumat Wakil Presiden pada tanggal 1 November 1945, yang berjanji akan mengembalikan HAK-MILIK-ASING (Musuh atau sahabat, ceroboh atau pendamai) dan membayar “HUTANG-HINDIA-BELANDA”, maka soal Indonesia-Belanda dalam pokok besarnya sudah beres.

Perjanjian Linggarjati sudah memastikan pengembalian HAK-MILIK-ASING dan pembayaran HUTANG “HINDIA BELANDA” itu, hitam di atas putih, menurut fasal 14, “Renville Principles” pun tidak lagi akan merundingkan pokok dasar pengembalian dan pembayaran itu. Paling banyaknya cuma buat menentukan garis kecil yang mengenai pelaksanaan pencarian hidup Belanda atas pengakuan Hak-Milik dan Perusahaannya itu. Dengan perkataan lain, dengan kebun, pabrik tambang, pengangkutan, toko, bank-asuransi dan gedung yang dikembalikan kepadanya itu, bagaimana menjamin supaya Belanda terus mendapatkan tanah, air dan tenaga buruh serta kuli dengan tak ada kesukaran. Bagaimana undang-undang negara dapat menjamin supaya orang Belanda jangan mendapat gangguan dari pihak “KAUM EXTREMIS”, kalau dia keluar masuk pabrik, kebun dan tambangnya, kalau dia dengan nyonya dan nonanya pulang pergi dari desa ke kota, masuk bioskop restoran dan kamar dansa?

Jangan hendaknya tidurnya diganggu oleh letusan granat atau oleh Momok Bambu Runcingnya kaum extrimis.

“Rechts-en bedrijfs-zakerheid”, Kepastian Hukum dan Pencarian, itulah yang masih diperundingkan setelah HAK MILIKNYA Belanda dikembalikan dan hutang “Hindia Belanda” dijanjikan oleh Moh. Hatta dan para Delegasi akan dibayar oleh Rakyat Indonesia.

Syahdan dipandang dari sudut mata Borjuis-Kecil Indonesia, maka soal pengembalian HAK MILIK dan pembayaran Hutang itu, adalah soal yang semestinya jadinya perkara kecil saja, itulah menurut filsafat “hutang dibayar dan piutang diterima”.

Tetapi soal “menduduki kursi” dalam pemerintahan Indonesia dimana borjuis kecil di Indonesia akan “kerja sama” dengan pemeras Belanda, yang dengan Bangsa Asing lainnya memiliki 99,9 % sumber perekonomian modern, adalah perkara yang paling penting buat borjuis kecil kita.

Dalam hati kecilnya maka borjuis kecil juga insyaf, bahwa tak semua kursi (dalam BIS-pun) boleh didudukinya, dia mengakui HAK-MILIK-ASING yang menguasai 99,9 % dari sumber perekonomian modern itu. Tetapi “voor dan schijn” pada lahirnya, berhubung dengan Proklamasi 17 Agustus dan pengorbanan Rakyat/pemuda, maka mereka terhadap Rakyat/pemuda mau memperhatikan, bahwa bangsa Indonesialah yang memegang kunci-pemerintahan BIS itu.

Biarlah 99,9 % sumber perekonomian modern itu dimiliki dan dikuasai oleh orang asing, asal saja mereka yang duduk dalam pemerintahan itu adalah semua orang yang berkulit coklat. Kalau belum semua kursi itu boleh diduduki oleh warna coklat, baiklah sebagian besar saja dahulu.

Soal “Berapa orang” berkulit coklat kelak diizinkan oleh Kapitalist, Imperialist Belanda menduduki NIS, itulah yang dipapar diperundingan oleh kedua Delegasi selama lebih kurang dua tahun berdiplomasi ini. Buat borjuis kecil Indonesia, soal ini, walaupun buat “schijn” saja, adalah soal yang paling penting.

Tetapi buat Belanda soal demikian adalah soal remeh, bukan soal HAK-MILIK dan HUTANG-PIUTANG. Tetapi penting pula buat Belanda soal KEAMANAN dalam pencahariannya. Berhubung dengan itu, maka soal PERBANDINGAN BANYAK, antara yang berkulit coklat dengan yang berkulit-putih, yang patut menduduki kursi dalam pemerintahan NIS adalah soal yang tak boleh diabaikannya saja. Banyak sentimen borjuis kecil yang harus dilintasi atau ditutupi lebih dahulu.

Memangnya kalau Rakyat/pemuda Indonesia mau menerima saja pemerintahan Indonesia di “QUISLING-KAN”, di "Henry-puji"kan atau di “Wang-Chi-Wei”kan, Belanda tak akan menghadapi soal yang ruwet. Tetapi rakyat/pemuda Indonesia sudah 3 ½ tahun mengalami sendiri pembonekaan Jepang.

Sesungguhnya dengan hitung-menghitung-jari menurut filsafat kruidenier saja, Belanda dengan “nuchter realiteitnya” sudah lebih dahulu dapat menentukan “PERBANDINGAN BANYAK” yang akan menduduki kursi-pemerintahan itu. Karena 99,9 % sumber pencaharian modern berada di tangan asing, maka menurut filsafat dengan ahli warung, 99,9 % pulalah bangsa asing harus mengendali politik pemerintahan Indonesia. Tetapi memang sentiment “kebangsaan” dan "question of face" (soal muka) adalah penting buat Asia umumnya dan bangsa Indonesia khususnya. Perundingan Indonesia-Belanda kesekian kali ini ialah mencari satu “face saving method”, satu cara buat menutup “muka malu” para pemimpin Indonesia.

Janganlah hendaknya para pemimpin Indonesia malu kelak menghadapi kaum oposisi yang akan menteriakkan “kalah bertekuk lutut” kalau terlampau banyak kursi diserahkan kepada Belanda. Pun Belanda sendiri tahu, walaupun semangatnya adalah semangat kruindenier, bahwa satu “stable doverment”, een “ordelyke regering” yang sangat di butuhkan itu tak akan diperoleh, kalau di mata rakyat Indonesia, para pemimpinnya menduduki “terlampau sedikit kursi” atau cuma memegang kekuasaan yang tiada penting saja. “Face-saving methode” ini (sebenarnya perkara remeh saja) belum juga didapatkan sampai dua tahun lebih ini. Dulu dengan Linggarjati soal “menutup muka” itu hampir tercapai. Dalam lima perkara yang dikemukakan dalam perundingan maka borjuis kecil Indonesia sehabisnya perang lidah dan perang pena yang hebat dahsyat, sudah menerima 4 perkara. Kandas pada “gendarmeris-bersama”.

Seandainya kruidenier dari Roterdam dan makelar dari Amsterdam bours, sedikit berpandangan jauh dan berhati lapang dan undurkan saja buat sementara waktu “gendarmerie-bersama” itu dan buat menutup malu “para pemimpin dan diplomat” Indonesia, biarkan saja Republik menjaga keamanan, maka linggarjati sudah dapat dilaksanakan. Belanda akan dapat pinjaman uang dari Wall Street New York; pabrik, toko dan pelabuhan dapat dibuka dengan lebih leluasa; Belanda akan dapat kesempatan memperbaiki perekonomian sendiri.

Dengan begitu, maka pemeras-penindas Belanda mendapat kesempatan yang lebih luas buat meninabobokan semangat BAMBU RUNCING dengan kemerdekaan dan kemakmuran palsu.

Kalau dalam hal itu BAMBU RUNCING TOH MELAYANG maka Belanda bisa berteriak-teriak. Dalam hal itu Wall Street tentu akan datang membantu dan menggerakkan UNO dan “public-opinion” di dunia buat membusukkan ketentraman di dalam Republik. Ikut serta dengan Belanda menteriakkan keempat penjuru alam, bahwa Republik tak bisa memegang “stable government”.

Dalam keadaan demikian, tentulah borjuis kecil Indonesia akan “kehilangan muka”, karena pemerintahannya “tidak stable”. Memang tidak ada yang lebih ditakuti oleh borjuis kecil dari pada “kritik” internasionaaaaaaaaaaaaaaaaaal ! ! !

Tetapi Belanda sebagai ahli warung pegang teguh kecurigaannya, dengan kecurigaan tukang warung, dia terus mendesak mengadakan “gendarmerie bersama”, walaupun dengan pengakuan “MAHKOTA BELANDA” itu dalam hakekatnya urusan ketentraman dalam Republik itu sudah di bawah pengawasan (supervision) pemerintah Agung di negeri BELANDA.

Rupanya Belanda sudah merasa dekat yang disetujuinya ialah :

  1. Semua Hak-Milik akan kembali dan hutang-piutang “Hindia Belanda akan dibayar oleh NIS.”
  2. Di “Batavia” akan berada pusat pemerintahan-boneka (NIS) yang pegang rol penting dalam sandiwaranya enam atau tujuh Negara Boneka kecil-kecil yang satu sama lainnya boleh diadu dombakan dan di Nederland akan duduklah Raja Belanda dengan para menterinya (UNI) yang mengendalikan para Boneka di Indonesia ini.
  3. Sekurangnya Urusan Luar Negeri, kemiliteran dan keuangan supaya diserahkan kepada UNI-Nederland-Indonesia, ialah kepada kapitalis-imperialis-Belanda, dengan segelintir atau dua gelintir inlanders-Alat.

Semua tuntutan ini sebenarnya sudah terdapat pada Linggarjati. Dengan kosongnya “kantong” di Jawa dan Sumatra dan dengan “perjanjian” plebisit, yang boleh diinjak-injak, diputar-balikkan atau dibatalkan sama sekali; dengan pertolongan KTN ialah para Tengkulaknya Marshall-Plan, maka rupanya Belanda sudah percaya bahwa di Kaliurang Kapal Renville akan membawa Belanda dan Indonesia ke bawah haribaannya kapitalis Amerika Cs yang sedang menantang Sosialis-Rusia dan negara sahabatnya.

Tetapi para wakil dari “Kroon” dihina, diejek dan diludahi oleh Rakyat di stasiun Yogya ketika mereka menuju Kaliurang.

Sekali lagi menunjukkan instink (naluri) Rakyat yang tepat dalam hal diplomasi-pun. Rakyat menunjukkan pelayanan semacam itu bukan kepada bangsa Asing, walaupun dia insyaf sungguh akan maksudnya semua bangsa asing itu. Rakyat Murba menunjukkan penghinaan itu kepada bangsanya sendiri, ialah mereka yang meninggalkan barisan-Rakyat-berjuang membela kemerdekaannya dan memihak kepada barisan yang memperkosa kemerdekaan itu. Dalam perkataan tegas, Rakyat melayani bangsanya sendiri yang dengan terang-terangan sudah BERKHIANAT. Belum tentu bangsa lain yang lebih sadar dan kurang sabar dari pada “het zachtstevolk der aarde” ini melayani pengkhianatannya seperti Rakyat Indonesia Yogya. Dan belum tentu pula bangsa Belanda sendiri, teristimewa pula anggota KTN sendiri memandang Kolonel Abdul Kadir Widjaya Atmadja dan Prof. Hussein Djajadiningrat lebih tinggi dari pada pandangan Rakyat Indonesia sendiri terhadap mereka.

Tetapi di samping itu memangnya Belanda tiada pernah banyak mengacuhkan penghinaan batin itu. Tak perlulah kita kupas sejarahnya pedagang Belanda di Jepang dan Tiongkok kurang lebih 300 tahun lampau. Masih segar pula peringatan kita tentang sikap “Tuan & Nyonya Besar” Belanda selama 3 ½ tahun di bawah bendera Jepang. Lebih mementingkan kehormatan diri dari pada keuntungan dagang adalah bertentangan sangat dengan “kruindeniers-geest”, semangat tukang warung.

Tetapi pelayanan Abdul Kadir dan Hussein itu memangnya pula boleh dipakai untuk mendapatkan keuntungan diplomasi. Inilah maka Belanda berteriak-teriak setinggi langit dan memprotes sekeras-kerasnya terhadap pelayanan yang di masa Jepang akan di terimanya dengan senyuman seorang “beer, die kiespijn hooft”.

Hilanglah sebenarnya amarah dan ketakutan Belanda terhadap Murba di stasiun Tugu itu, karena pelayanan para bonekanya, apabila autonya Belanda mendengung-dengung melalui desa dan sawah dikiri-kanan, ketika menuju Kaliurang. Teristimewa apabila dia sampai di salah satu gedung besar yang bersih dalam suasana yang sejuk segar di Kaliurang seolah-olah di negerinya sendiri untuk menghentikan lelahnya. Dari Kaliurang di pinggang Gunung Merapi yang menyanjung ke angkasa dengan segala kemegahannya ketika memandang ke bawah ke lembah yang luas, subur, digarisi oleh kali yang mengairi sawah dan ladang; lembah yang ditaburi oleh desa, penuh sesak dengan tenaga murah, patut taat …..en , c, zoe treus aan hun meesters en hun werk ! ………….hasil dari kebudayaan feodal yang “cemerlang”, maka timbullah kembali hasratnya: Akh, sekali lagi kami bangsa Belanda akan menguasai tanah, tenaga dan kekayaan Alam dari swarga Loka ini.

Bangkitlah dia kembali dan berjalan menuju ke medan perundingan dengan kartu baru dikantongnya. Memakai peristiwa Stasiun Tugu sebagai zet buat lebih keras lagi mendesakkan “gendarmerie bersama” untuk bersama-sama menjaga ketentraman di dalam daerah Republik. Kalau diterima oleh Delegasi Indonesia maka jatuhlah semua kekuasaan ekonomi, militer, keuangan, politik dan diplomasi ke tangan Belanda.

Kalau ditolak, maka dapatlah Belanda suatu sebab lagi, buat mengadakan “aksi polisionil” baru dengan alasan yang mungkin akan diterima oleh KTN dengan maksud merobohkan lima atau enam daerah-minus yang masih berada di bawah Republik.

Dengan persitiwa Stasiun Tugu sebagai Kartu Tinggi dengan Kadir-Hussein, sebagai umpan; dengan KTN sebagai MOMOK internasional, maka Belanda akan memusatkan pembicaraannya kepada gendarmerie-bersama disamping pelucutan senjata sebagian besar dari Tentara Republik; penghapusan uang ORI dan Pembatalan pengakuan Negara Arab atas Republik dan akhirnya menyodorkan pembentukan NIS dan UNI seperti yang sudah lama disediakan oleh kepitalis-imperialis Belanda, dimana 99,9 % kekuasaan yang sebenarnya jatuh ke tangan Kapitalis-Imperialis Asing.

Tawar menawar tentang banyaknya kursi dan besarnya kekuasaan yang akan terus dipegang oleh Belanda dan tawar menawar tentang banyak dan sifatnya Kursi yang akan diserahkan kepada borjuis kecil Indonesia di dalam NIS dan UNI itulah sekarang dilakukan di Kaliurang.

Tetapi yang menjadi sasaran dan taruhan dalam hal tawar-menawar ini, yang menjadi SAPI-PERAHAN, kelak, kalau KUHANDEL itu berhasil ialah MURBA, buruh-tani dan Rakyat-Jembel juga.

Sampailah pula perjuangan kemerdekaan Indonesia ini kepada tingkat, dimana MURBA dengan FILSAFAT, ORGANISASI, TAKTIK-STRATEGI, yang dilakukan oleh Borjuis Kecil Indonesia dengan Kapitalis-Imperialis Asing, di atas punggungnya MURBA Indonesia ini, yakni kalau MURBA Indonesia tiada ingin kembali menjadi SAPI-PERAHAN Kapitalis-imperialis itu. Sebaliknya pula MURBA harus membatalkan semua akibatnya kegagalan atau pembatalan perundingan Kaliurang itu dengan segala PERSIAPAN-MURBA yang dijalankan dengan teratur, ketenangan, kebijaksanaan, serta dengan PERSATUAN ORGANISASI, PERSATUAN MAKSUD dan PERSATUAN TEKAD MURBA!

16/04/1948.

Friday, July 25, 2008

PT.ANTANG GANDA UTAMA MEMBIDIK PASAR DUNIA DENGAN MEMUSNAHKAN SUMBER-SUMBER KEHIDUPAN MASYARAKAT

OLEH : A.M.TENGKELOWONG DAN DIMAS N.H

PENDAHULUAN

PT.Antang Ganda Utama [PT.AGU]adalah sebuah perusahaan besar swasta bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit. PT.AGU yang merupakan perusahaan yang masuk dalam anak perusahaan Matahari Kahuripan Indonesia [MAKIN GROUP] yang sejak tahun 1990-an mulai membuka perkebunan kelapa sawit di kalimantan tengah. Sistem penguasaan tanah dengan dalih pembangunan dan berdasarkan surat sakti dari pemerintah Kabupaten Barito Utara dengan leluasa menguasai tanah,kebun,ladang milik masyarakat suku Tewoyan,Bakumpai,Maa’nyan,Dusun bayan dan Dusun malang yang banyak mendiami pinggiran aliran sungai Barito.

PT.AGU mendapatkan Hak Guna Usaha [HGU] pertama pada tahun 1994 seluas 3.127 ha atas dasar surat dari kepala BPN No.23/HGU/BPN/94 tanggal 10 Mei 1994. Kemudian tanggal 24 oktober 2002 PT.Antang Ganda Utama [PT.AGU] mengirim surat dengan nomor AGU/037-A/X/2002 tujuan kepada pemerintah kabupaten dengan perihal permohonan perluasan areal kebun kelapa sawit seluas 10.000 ha. Target dari anak perusahaan Matahari Kahuripan [PT.MAKIN GROUP] ini akan melakukan ekspansi pada tiga [3] kecamatan yaitu kecamatan Montalat,Gunung Timang dan kecamatan Teweh tengah dan akan membuka lahan seluas 30.000 ha. Impian dari PT.AGU ini adalah untuk membidik pasar dunia yang sangat membtuh minyak CPO [kalteng pos 3 april 2003].

Sementara lahan yang sudah mendapat rekomendasi dari pemkab BATARA terdiri dari Hutan Produksi [HP]eks PT.Austral Byna +/- 4000 ha,eks PT.Barito Pasifik Lumber +/- 6000 ha. Selanjutnya KPPL eks PT.AB +/- 16.000 ha serta KPP yang juga eks PT.AB +/- 4000 ha. Pada tanggal 18 Oktober 2004-Keluar surat BPN No.90/HGU/BPN/04 tanggal 18 Oktober 2004 seluas 6.343 ha. Dan dilanjutkan pada tanggal 25 April 2005 kemudian keluar lagi HGU berdasarkan surat dari BPN dengan No. 41/HGU/BPN/05 tanggal 25 April 2005 seluas 8.436 ha. Dengan demikian maka sampai April tahun 2005 total HGU PT. AGU adalah seluas 17.996 ha ditambah Plasma seluas 3.600 ha, sehingga jumlah keseluruhannya adalah 21.595 ha.

MATAHARI KAHURIPAN INDONESIA [MAKIN GROUP] DI KALIMANTAN TENGAH

Sejak tahun 1990-2007 perusahaan yang berada di bawah naungan PT.MAKIN GROUP tersebar pada beberapa kabupaten di Kalimantan tengah,diantaranya adalah :

No

Nama/Alamat Perusahaan

Komoditi

Lokasi

Target IUP (Ha)




KAB. BARITO UTARA


1

PT. Antang Ganda Utama Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250. Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879 Jl. Letjend Soeprapto No.1 Banjarmasin Telp. 0511-363421 Fax. 0511-363429 Base Camp Butong PO.BOX 46 Muara Teweh

Kelapa Sawit

Barito Utara: - Teweh Tengah - Gn. Timang - Montalat

30,000



TOTAL: Kelapa Sawit



30,000


KAB. BARITO SELATAN


2

PT. Mata Andau Sawit Kahuripan Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250 Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879 Jl. Letjend Soeprapto No.1 Banjarmasin Telp. 0511-363421 Fax. 0511-363429

Kelapa Sawit

Barito Selatan: - Gn. Bintang Awai - Dusun Utara - Dusun Selatan

20,000



TOTAL: Kelapa Sawit



20,000


KAB. KOTAWARINGIN TIMUR


3

PT. Intiga Prabhakara Kahuripan (PT. INHUTANI III) Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250 Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879, 393926880 Jl. Nanas IV No. 47 Sampit Telp/fax. 0531-32957

Kelapa Sawit

Kotawaringin Timur: - Parenggean - Mentaya Hulu

8,000


4

PT. Katingan Indah Utama (PT. KIU) - KUD Kemitraan Sinar Bahagian - KUD harapan Sentosa - KUD Mentaya Raya - KUD Tunas Jaya - KUD Anugerah Baampah - KUD Santana Bersatu Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250 Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879, 393926880 Jl. Nanas IV No. 47 Sampit Telp/fax. 0531-32957 P. Raya

Kelapa Sawit

Kotawaringin Timur: - Parenggean - Kota Besi - Mentaya Hulu

15,028


5

PT. Wana Yasa Kahuripan Indonesia Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250 Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879, 393926880 Jl. Nanas IV No. 47 Sampit Telp/fax. 0531-32957

Kelapa Sawit

Kotawaringin Timur: - Cempaga - Parenggean

15,000


6

PT. Mukti Sawit Kahuripan Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250 Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879, 393926880 Jl. Nanas IV No. 47 Sampit Telp/fax. 0531-32957

Kelapa Sawit

Kotawaringin Timur: - Cempaga - Parenggean

4,210


7

PT. Surya Inti Sawit Kahuripan Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250 Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879, 393926880 Jl. Nanas IV No. 47 Sampit Telp/fax. 0531-32957

Kelapa Sawit

Kotawaringin Timur: - Cempanga

2,500



TOTAL: Kelapa Sawit



44,738








KAB. KATINGAN


8

PT. Rejeki Mukti Kahuripan Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250 Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879, 393926880 Jl. Nanas IV No. 47 Sampit Telp/fax. 0531-32957

Kelapa Sawit

Katingan: - Katingan Tengah

16,200


9

PT. Agung Pesona Kahuripan Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250 Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879, 393926880 Jl. Nanas IV No. 47 Sampit Telp/fax. 0531-32957

Kelapa Sawit

Katingan: - Katingan Tengah

11,100


10

PT.Krida Dharma Kahuripan Jl. KH. Wahid Hasyim 118-1190 Jakarta 10250 Telp. 021-3926877 Fax. 021-3926879, 393926880 Jl. Nanas IV No. 47 Sampit Telp/fax. 0531-32957

Kelapa Sawit

Katingan: - Pulau Malan

14,700



TOTAL: Kelapa Sawit



42,000





TOTAL KESELURUHAN



136,738


Data Dinas Perkebunan Kalimantan Tengah tahun 2006

TENTANG MASYARAKAT KORBAN SAWIT

Komunitas masyarakat yang menjadi korban PT.AGU dari 3 kecamatan di barito utara ini adalah komunitas suku Bakumpai,Tawoyan, Lawangan, Bentian, Maanyan, Dusun Bayan dan Dusun Malang yang terdiri dari 15 desa. Mata pencaharian utama masyarakat di daerah ini petani karet.

Hutan dimanfaatkan oleh masyarakat adalah berbagai jenis kayu yang bisa di gunakan untuk kebutuhan pembuatan rumah seperti jenis kayu meranti,blangiran,tengkawang,dll. Selain itu juga hasil hutan lainnya ada tempat dimana masyarakat mengambil berbagai jenis kayu sebagai obat-obatan. Bantai Solai adalah sebuah hamparan wilayah hutan yang digunakan/dikelola untuk lokasi perladangan secara tradisional,yang kemudian dijadikan sebuah kebun [buah atau karet].

Pada tahun 2002-2003 saat pertama masuk PT.AGU di kecamatan teweh tengah dan gunung timang,pihak perusahaa menjanjikan akan memberikan tali asih kepada masyarakat yang mau menghbahkan lahannya untuk di jadikan kebun sawit. Tali asih dalam pengertian akan memberikan kerugian atas penggarapan kebun-kebun milik masyarakat. Berdasarkan data yang ada di desa Hajak dan sikuy,terdapat beberapa lokasi bantai yang tersebar beberapa tempat. Sebuah bantai biasanya di kelola oleh beberapa orang yang masuk dalam anggota bantai [kelompok peladang]. Pengelolaan bantai diketuai oleh seorang kepala bantai yang mengatur anggota dari mencari lokasi berladang,penebasan,penebangan,pembakaran,penanaman sampai panen dan dijadikan kebun. Nama sebuah bantai biasa diberikan berdasarkan nama sungai,pohon,bukit dll

Kehidupan sosial dan adat istiadat di daerah ini diatur oleh seorang Damang atau kepala adat yang biasa berada di ibukota kecamatan yang saat ini kadamangan di provinsi kalimantan tengah diatur dalam peraturan daerah. Tugas damang sendiri adalah mengatur adat dan acara yang berkaitan dengan adat istiadat dan menangani persilisihan antar warga [tanah,perkelahian dan perselisihan]. Baik yang bersifat hukum perdata dan hukum pidana. Apabila persoalan tersebut tidak dapat diselesaikan,maka damang bisa menyerahkan persoalan ini kepada negara [pengadilan].

Tugas damang sendiri dibantu oleh penghulu adat. Penghulu adat sendiri bertugas di desa-desa. Apabila persoalan di desa tidak dapat diselesaikan oleh penghulu adat,maka persoalan akan diserahkan kepada damang yang berada di kecamatan.

Nama beberapa Bantai di Desa Hajak dan Sikuy - Kecamatan Teweh Tengah yang dicaplok untuk perkebunan kelapa sawit PT. Antang Ganda Utama.

1. Bantai Nalau Kilip I

2. Bantai Nalau Kilip II

3. Bantai Nalau Kilip III

4. Bantai Simpang Keruh I

5. Bantai Simpang Keruh II

6. Bantai Simpang Keruh III

7. Bantai Junjung Payung

8. Bantai Mangan Danun I

9. Bantai Mangan DAnum II

10. Bantai Teruh Raya

11. Bantai Ourum

12. Bantai Bina Warga

13. Bantai Aria Bulau

14. Bantai sungai sikuy

Musnahnya bantai - bantai diatas akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit PT. Antang Ganda Utama pada tahun 2003 dan memunculkan konflik lahan antara warga dengan PT. Antang Ganda Utama. Sebagian besar warga merasa tidak pernah memberikan ijin atau menghibahkan lahan-lahan bantai tersebut kepada perusahaan. Akan tetapi PT. AGU telah membuka dan mengganti bantai mereka dengan kelapa sawit.

KRONOLOGIS PROSES PEMBERIAN IJIN [PERLUASAN AREAL] TAHUN 2002 - 2003

n Tanggal 24 Oktober 2002 Direktur PT.AGU mengirim surat permohonan nomor AGU/037-A/X/2002 kepada Bupati Barito Utara perihal permohonan perluasan areal seluas 10.000 ha.

n Tanggal 24 Oktober 2002 Direktur PT.AGU mengirim surat permohonan nomor AGU/037-2/X/2002 kepada Bupati Barito Utara perihal permohonan perluasan areal seluas 30.000 ha.

n Tanggal 7 November 2002 Dinas Kehutanan Barito Utara mengeluarkan surat dengan nomor 522/4/818/4.09/XI/2002 perihal permohonan perluasan areal perkebunan kelapa sawit a/n PT.AGU seluas 30.000 ha.

n Tanggal 7 November 2002 Bupati Barito Utara mengeluarkan surat dengan nomor 525.26/463/EK/ perihal Dukungan Perluasan (bersyarat) perkebunan kelapa sawit a/n PT.AGU.

n Tanggal 9 Desember 2002 Bupati Barito Utara mengeluarkan surat dengan nomor 525/481/EK, perihal rekomendasi perluasan areal perkebunan kelapa sawit seluas 30.000 ha kepada PT. AGU.

n Surat Kanwil BPN propinsi Kalimantan Tengah dengan nomor 91.460.42 tertanggal 19 Mey 2003 perihal rekomendasi perluasan areal perkebunan kelapa sawit seluas 30.000 ha kepada PT. AGU.

n Surat BPN Barito Utara dengan nomor 278.460.42 pada tanggal 3 Juni 2003 perihal rekomendasi perluasan areal perkebunan kelapa sawit seluas 30.000 ha kepada PT. AG U.

n Surat BPN Barito Utara dengan nomor 35.460.42 tertanggal 14 Juni 2003 perihal rekomendasi Ijin Lokasi perluasan areal perkebunan kelapa sawit seluas 30.000 ha kepada PT. AG U.

  • Ada 2 [dua] surat permohonan perluasan areal yang diajukan oleh PT.AGU dengan tanggal dan bulan yang sama tetapi luasan dan nomor surat berbeda
    [ AGU/037-A/X/2002-
    AGU/037-2/X/2002]
  • Selama perijinan masih dalam proses,aktivitas land clearing oleh PT.AGU sudah dimulai pada awal tahun 2003 hanya dengan mengantongi beberapa surat rekomendasi saja.

n Tanggal 1 September 2003 Bupati Barito Utara mengeluarkan surat nomor 503/168/Ek tentang Ijin Usaha Perkebunan (IUP) perluasan areal perkebunan kelapa sawit kepada PT.AGU.

n Tanggal 2 September 2003 PT.AGU mengirim surat dengan nomor AGU/058/IX/2003 yang ditujukan kepada Bupati Barito Utara perihal permohonan pemberian Ijin Lokasi perluasan areal.

n Tanggal 15 September 2003 Bupati Barito Utara mengeluarkan Surat Keputusan nomor 188.45/447/2003 tentang Ijin Lokasi perluasan areal perkebunan kelapa sawit kepada PT.AGU.

n Tanggal 17 September 2004 buku dokumen Rencanan Pengelolaan Lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) diterbitkan.

n Tanggal 18 Oktober 2004 Hak Guna Usaha (HGU) nomor 90/HGU/BPN/04 untuk lahan Inti milik PT.AGU diterbitkan seluas 6.343 ha (tahap pertama)

n Tanggal 25 April 2005 Hak Guna Usaha (HGU) nomor 41/HGU/BPN/05 untuk lahan Inti milik PT.AGU diterbitkan seluas 8.436 ha (tahap kedua).

Karena banyaknya masalah terhadap masyarakat dan surat pengaduan dari masyarakat atas perluasan PT.AGU pada tahun 2002-2003 maka pada bulan September 2005 - Keluar surat BPN Pusat cq. Deputi Bidang Pengkajian dan Hukum Pertanahan yang ditujukan kepada BPN Propinsi dan Kabupaten Barito Utara yang isi surat antara lain,supaya BPN Propinsi Kalteng dan BPN Kabupaten Barut mengadakan penelitian terhadap masalah yang dimaksud dan hasilnya disampaikan kepada BPN Pusat disertai pendapat dan pertimbangan dari BPN Kabupaten dan BPN Provinsi. Serta memberitahukan kepada pihak PT AGU untuk membuat batas areal HGU secara jelas.

Setelah surat dari BPN pusat keluar pada tanggal 6 Oktober 2005 keluar Surat dari Gubenur Propinsi Kalimantan Tengah [Bapak Teras Narang] No. 188.45/1332/EK dengan perihal untu merevisi Keputusan Bupati Barito Utara kepada Bupati Barut No. No. 503/168/Ek yang telah memberikan Izin Usaha Perkebunan kepada PT. AGU seluas 30.000 ha dan Surat Bupati Barito Utara No. 188.45.447/2003 tentang Izin Lokasi dengan luas 30.000 ha

KONDISI OBYEKTIF KONSENSI LAHAN [PERLUASAN AREAL]

n Lokasi perluasan areal yang diberikan kepada PT.AGU komposisinya terdiri dari Kawasan Hutan Produksi Tetap [HPT] seluas ± 10.000 ha, Kawasan Pengembangan Produksi (KPP) dan Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lainnya [KPPL] seluas ± 20.000 ha.

n Didalam lokasi yang diberikan Ijin oleh Bupati terdapat wilayah kelola masyarakat berupa tanah peladangan [Bantai,hutan junjungan],kebun karet,kebun buah-buahan [sipungk] yang dikuasai masyarakat secara adat dan dikelola secara turun temurun.

n Khusus untuk Desa Malungai, Rarawa, Ketapang, Walur, Baliti dan Majangkan di Kecamatan Gunung Timang keseluruhan pemukiman penduduk 6 Desa masuk didalam peta Ijin Lokasi.

PERLUASAN AREAL PT.AGU DAN LATAR BELAKANG PEMICU PERMASALAHAN DI KECAMATAN GUNUNG TIMANG

Kehadiran PT. Antang Ganda Utama (AGU) pertama kali di Barito Utara Kalimantan tengah tidak terlalu menjadi perhatian warga masyarakat sekitar. Akan tetapi setelah perusahaan perkebunan kelapa sawit pertama dan terbesar dibarito utara mengantongi ijin lokasi perluasan areal seluas 30.000 ha dari Pemerintah Daerah setempat, muncul pro dan kontra.

Untuk menggali dan mengeksploitasi akar permasalahan khususnya dengan masyarakat 7 Desa di Kecamatan Gunung Timang. Ada baiknya dimulai dengan mengulas praktek rekayasa dan manipulasi pra perijinan/legalitas yang dimiliki PT.AGU. Berawal dari munculnya berita acara musyawarah antar Desa Kandui, Malungai, Rarawa, ketapang, Walur, Baliti dan Majangkan.

Berita acara yang dimuat pada hari jum’at tanggal 21 pebruari 2003 dengan ditanda tangani oleh 7 Kepala Desa dan 7 Anggota BPD serta diketahui oleh Tripika Kecamatan Gunung Timang, memuat 4 butir kesepakatan yang ternyata direkayasa oleh pihak kecamatan dan atau perusahaan. Pernyataan Kades dan Ketua BPD Kandui, isinya menjelaskan bahwa berita acara yang dibuat oleh pihak Kecamatan disodorkan dari rumah ke rumah untuk ditandatangani oleh Kepala Desa dan Ketua BPD berselang beberapa minggu kemudian. Ini merupakan fakta bahwa berita acara dimaksud dalam hasil rekayasa.

Barangkali merasa modus terbongkar, scenario baru disusun, dimana pada tanggal 9 juni 2003 bertempat di aula SDN-1 Kandui kembali diadakan Pertemuan terbatas yang menghasilkan 12 poin kesepakatan. Salah satu bunyi butir kesepakatan dalam notulen yakni membekukan berita acara sebelumnya. Disamping itu juga terdapat beberapa bunyi kesepakatan yang isinya masih potensial merugikan pihak masyarakat.

Sorotan yang juga layak untuk dikupas sebelum perijinan PT.AGU diterbitkan adalah isi surat dari BPN Barito Utara yang ditujukan kepada Dirut PT.AGU. focus tertuju kepada butir 6 dari isi surat dengan No. 355.460.42 tertanggal 14 juli 2003. yang intinya meminta PT.AGU membuat surat pernyataan kesanggupan mengganti rugi/santunan kepada pemilik tanah yang terkena lokasi. Arahan berikutnya tertuang dalam bunyi huruf (b) dalam surat yang sama, dimana PT.AGU diminta untuk dapat menghadirkan perwakilan dari pemilik tanah yang terkena lokasi untuk dimintakan pendapat, saran harapan dan lain-lain.

Sebagai kelengkapan administrasi bahan rapat koordinasi pada tanggal 13 september 003, khusus terhadap permintaan BPN sesuai bunyi butir 6, mau tidak mau GM PT.AGU yang menjabat waktu itu membuat dan menandatangani surat pernyataan diatas materai Rp. 6000. Akan tetapi ketentuan sesuai bunyi huruf (b) maupun ketentuan sesuai bunyi romawi III huruf (d) dan (e) dalam bahan rapat koodinasi inij lokasi A/N PT.AGU yang ditandatangani oleh pelaksana penghimpun bahan/Kasi Penatagunaan Tanah BPN sepertinya kurang diindahkan. Bahkan dalam praktek dan sepak terjang aktivitas dilapangan implementasi dari surat pernyataan dari surat pernyataan GM PT.AGU kendati ditandatangani diatas materai, ternyata hanay formalitas belaka. Yang terjadi justru penguasaan/pembebasan lahan tidak procedural. Disinyalir adanya keterlibatan oknum calo Yang berperan menjual/menghibah tanah kepada Perusahaan tanpa sepengetahuan pemilik tanah yang sebenarnya. Terbukti belakangan dengan banyaknya tuntutan dari masyarakat, yang selalu ditanggapi oleh pihak PT.AGU Bahwa Perusahaan telah membayar/membeli dengan menyebut nama oknum yang menjual.

Untuk mengulas lebih tajam ketidak-patuhan AGU terhadap berbagai produk kesepakatan serta ketentuan, memerlukan kecermatan serta rasionalitas yang lepas dari konflik kepentingan. Disana ada ditemukan penyimpangan dan kejanggalan yang punya andil besar terhadap munculnya mata rantai berbagai persoalan yang terjadi dengan masyarakat sekitar. Yang perlu digaris bawahi bahwa selama selama kelengkapan perijinan atau legalitas AGU masih dalam proses, sepak terjang aktivitas pembukaan lahan (land clearing) telah berlangsung.

Berita acara/kesepakatan kendati bernuansa “manipulatif” disinyalir dijadikan alat legislasi praktek penggusuran termasuk menggusur tanah dan kebun masyarakat. Berlangsungnya kegiatan pembukaan lahan/land clearing perkebunan kelapa sawit milik PT.AGU di areal perluasan sesuai SK IJIN Lokasi No.188.45/447/2003, dimulai semenjak pertengahan tahun 2002. menunjukan bahwa lebih kurang 1 tahun AGU melakukan aktivitas tanpa atau belum memiliki kelengkpan legalitas perijinan, ini jelas merupakan tindak pelanggaran dan penyimpangan. Selama 5 (lima) tahun berjalan, berbagai bentuk protes, laporan dan pengaduan dari masyarakat terhadap pelanggaran dan penyimpangan oleh PT.AGU, sampai sekarang belum ada sanksi yang tegas dterhadap pelaku.

Tuntutan pencabutan ijin Lokasi No.188.45/447/2003 dan SK No.188.45/411/2003 tentang Pedoman Pola Kemitraan beserta lampiran yang sangat merugikan masyarakat. Termasuk surat permohonan kepada kepala BPN pusat untuk tidak diterbitkan Hak Guna Usaha kepada AGU, hanya menghasilkan surat tanggapan dari pemerintah. Surat Gubernur Kalimantan Tengah yang meminta Bupati Barito Utara Merevisi IUP dan SK ijin lokasi juga surat BPN pusat untuk Kanwil BPN Kalteng sepertinya belum mampu menggugah kewenangan pejabat terkait untuk membuat keputusan konkrit dalam menyelesaikan permasalahan.

Munculnya gejolak dan aksi sepertinya peng-kavling-an dan penutupan kegiatan dilahan AGU pada tahun 2007 ini oleh masyarakat korabn sawit merupakan akumulasi dari menumpuknya berbagai permasalahan yang dipicu leh rentetan sepak terjang PT.AGU yang tidak mentaati tahapan proses prijinan serta tidak mematuhi prosedur pembebasan lahan termasuk tidak menghormati hak kepemilikan secara adat masyarakat sekitar. Gejolak dan aksi masyarakat kendati dilakukan secara sporadic, factor penyebabnya tidak bisa dilihat secara parsial. Aksi penyetopan/ penutupan atas kegiatan AGU diwilayah Kecamatan Gunung Timang serta wilayah Desa Hajak/Dusun Sikuy dikarenakan antara lain oleh :

Adanya hak kepemilikan secara adat (wilayah kelola masyarakat) yang menjadi korban penggusuran dari aktivitas ketika pembukaan lahan/land clearing oleh PT.AGU yang sampai sekarang belum ada penyelesaian. Keinginan PT.AGU yang bersikeras untuk kembali membuka lahan baru untuk lokasi Pola Kemitraan hanya sebatas lahan yang sudah dibuka secara “illegal” dimana Kelapa Sawit sudah ditanam serta memasuki masa panen.

Langkah untuk menghentikan sementara kegiatan pembukaan lahan diareal perluasan, patut dihargai. Paling tidak keberhasilan telah diraih sebatas antisipasi semakin meluasnya kerugian yang warga sekitar, akibat penggusuran oleh AGU terhadap hak atas wilayah kelola masyarakat. Ada hal menarik yang patut disimak bahwa kekwatiran akan musnahnya tanah dan perkebunan masyarakat didalam areal perluasan seluas 30.000 ha yang dikuasai AGU cukup beralasan jika tidak segera penolakan. Bayangkan dalam waktu kurang dari 200 hari AGU mampu menggarap lahan seluas ±13.800 ha. Tenggang waktu terbitnya SK Ijin lokasi dan hasil temuan Tim Dinas Kehutanan Barito Utara merupakan fakta tidak terbantahkan dalam menguak praktek membabibuta penggusuran lahan oleh PT.AGU. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa fakta temuan tersebut terindikasi hanya laksana macan kertas, lantaran langkah follow up dari instansi yang berwenang menanganinya idak ada sanksi yang tegas terhadap pelaku.

PROGRAM POLA KEMITRAAN YANG KONTROVERSIAL

Banyak hal menarik dari silang pendapat dalam menyikapi seputar persoalan PT.AGU dengan masyarakat. Bisa dimaklumi lantaran masing-masing punya kapasitas sudut pandang dan kepentingan berbeda. Seperti halnya wacana Pola Kemitraan yang sebelumnya memang pernah dijanjikan perusahaan kepada masyarakat , akhir – akhir ini berubah menjadi polemik.

Mengutip isi surat Gubernur Kalimantan Tengah No.188.45/1332/EK, tertanggal 8 oktober 2005 perihal REVISI KEPUTUSAN BUPATI BARITO UTARA.

Huruf (a) butir 1 berbunyi : Keputusan Bupati Barito Utara tentang IUP No. 503/168/Ek tanggal 01 September 2003 dengan luas 30.000 ha dan Keputusan Bupati Barito Utara tentang Ijin Lokasi No. 188.45/447/2003 tanggal 15 September 2003 dengan luas yang sama, tanpa mencantumkan secara eksplisit/tegas/jelas mengenai proporsi luas Inti dan Plasma atau mengenai Pola Pengembangan/kemitraan usaha antara perusahaan dengan masyarakat setempat.

Huruf (a) butir 2 berbunyi Keputusan Bupati Barito Utara tentang Pola Kemitraan No. 188.45/41/2004 tanggal 27 juli 2004, yang dalam ketetapannya juga belum secara eksplisit/tegas/jelas mengatur pola pengembangankemitraan usaha yang berkenaan dengan kepastian hak masyarakat berupa proporsi saham dan kebun plasma. Penjelasan dalam isi surat diatas menunjukan bahwa kesalahan pembuat kebijakan merupakan salah satu factor penyebab munculnya pro kontra serta dijadikan alasan lahirnya surat tuntutan dan penolakan dari masyarakat.

PENOLAKAN MASYARAKAT, oleh segelintir pihak seperti yang dilansir beberapa media massa dipelintir maknanya, masyarakat yang menolak dituding seolah tidak menerima program pemerintah. Yakni Pola Kemitraan usaha Perkebunan kelapa Sawit antara PT.AGU dengan masyarakat. Persepsi keliru yang berbuntut menjadi pro kontra, akibat kedanggalan dalam menelaah substansi penolakan.

Mengutif statemen salah satu DPR-D Barito Utara yang menyatakan Bahwa; “Mustahil ada warga yang menolak, karena bukti konkritnya sudah dapat kita lihat di SP-1 dan SP-2, warga sudah punya motor baru semua, karena tiap bulan punya panen sawit…… Naif bila program sebagus ini gagal hanya karena segelintir orang yang punya kepentingan pribadi”. Dibagian lain bahkan (“wakil rakyat”) tersebut menuding ada provokator dan berharap agar aparat menyelidiki siapa dalangnya….. (B’Post Hal 14, sabtu 4 juni 2005).

Sebuah pernyataan emosional yang mengenyampingkan realitas dan naluri seorang wakil rakyat yang seharusnya mencari tau penyebab serta menampung aspirasi dari kelompok yang memboikot kedatangan tim sosialisasi draft pola kemitraan. Kembali kita menoleh kebelakang tentang kejadian aksi boikot kedatangan tim sosialisasi pada tanggal 9 mei 2005 didesa malungai, dilanjut dengan pengumpulan tandatangan oleh kelompok masyarakat yang menuntut dicabutnya 3 SK Bupati Barito Utara, merupakan gebrakan dan langkah awal melawan sebuah kebijakan yang tidak aspiratif.

Kendati menuai tudingan miring dari orang-orang yang tidak mengerti duduk persoalan atau “oknum” yang punya kepentingan. Paling tidak keberhasilan diraih oleh masyarakat untuk menggagalkan sosialisasi akal-akalan dengan menawarkan janji manis (baca ; kucing dalam karung) yang dikemas dalam deraft kerja sama terselubung.

Provokator atau dalam seperti yang ditudingkan tidak akan pernah muncul lantaran mereka sebenarnya terselip dan tersembunyi dibalik lembaran kertas kebijakan. Karena sumber masalah sebenarnya berawal dari proses perumusan kebijakan pola kemitraan yang tidak di transparan, sehingga system dan aturan main pola kemitraan ditolak karena merugikan pihak masyarakat. Guna meluruskan duduk persoalan, lebih cepat jika kiita sama-sama mencerna argument logis bahwa segala bentuk kerja sama (kemitraan), masing-masing (kedua belah pihak semestinya duduk bersama merumuskan aturan main, sama-sama mengetahui prospek dan kelayakan, termasuk analisa untung rugi usaha yang akan dijalankan. Jika syarat minimal yang disebutkan diatas tidak terpenuhi atau tidak melibatkan salah satu pihak (patner), maka penolakan kerja sama (terselubung) menjadi hak progratif oleh pihak yang merasa dirugikan.

Tarik ulur proses dan realisasi, menjadikan pola kemitraan sebagai wacana yang kontraversial, mengandung berbagai pemikiran dan tindakan spekulatif oleh pihak AGU maupun oknum yang ingin memainkan kesempatan dan peluang. Sementara pihak Pemerintah Daerah yang disinyalir masih mengandung “mandate” dari perusahaan mungkin masih sibuk mendesain draft pola kemitraan baru (asalkan isinya tidak sama seperti yang lama) yang nantinya akan ditawarkan kembali kepada masyarakat. Asumsi ini berdasarkan belum ada respon positif dari Pemda terhadap aksi dan gejolak masyarakat yang menutup kegiatan dilahan AGU akhir-akhir ini.

Khusus bagi warga masyarakat 7 desa di Kecamatan Gunung Timang, yang menuntut dan mendesak agar merealisasikan pola kemitraan dilahan yang sudah dibuka, ditanamami dan dimasuki masa panen sekarang cukup beralasan. Karena sesuai apa dengan yang dijanjikan oleh PT.AGU sebelumnya.

Disamping janji yang sampai sekarang masih melekat dalam ingatan, ada salah satu bukti tertulis dari Manajer Pengembangan PT.AGU (M.ABDUH.SP) yang mengatasnamakan Perusahaan (PT.AGU). dan berdasarkan kebijakan Manajemen Pusat (Makin Group). Isi surat keterangan yang dibuat dan tanda tangani tertanggal 17 juli 2003 mengatakan Bahwa PT. Antang Ganda Utama Butong sudah tidak melakukan program Tali Asih untuk perluasan Lahan perkebunan dan selanjutnya akan dilakukan dengan POLA KEMITRAAN.

Kemudian dalam laporan hasil Tim Pembinaan dan Pengawasan terhadap perkebunan PT.AGU oleh Dinas Kehutanan Barito Utara sesuai surat perintah Tugas No. 78/DISHUT/SPT/II/III/2004 tanggal 27 maret 2004. Huruf F butir 3 berbunyi : berdasarkan hasil pemeriksaan dilapangan, pihak PT. Antang Ganda Utama melaksanakan Pembukaan Lahan seluas ± 7000 ha luar areal yang di usulkan sebagai areal untuk di-HGU-kan pada tahap kedua (seluas 6.800 ha) yang merupakan AREAL KEMITRAAN dengan 14 Desa.

PENYIMPANGAN PROSEDUR OLEH PT.AGU

n Tidak mematuhi prosedur/tahapan seperti yang telah diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku, karena menggarap/membuka lahan (land clearing) dll sebelum mengantongi IUP, Ijin Lokasi maupun HGU.

n Proses pembebasan lahan (tanah perkebunan masyarakat) dilakukan dengan tidak prosedural, karena tidak mengacu pada Peraturan menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 2 tahun 1999, diantarannya :

Ø Penyebarluasan informasi mengenai rencana kegiatan tidak dilakukan oleh PT.AGU.

Ø Pemberian kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang terkena lokasi untuk memperoleh penjelasan.

Ø Pengumpulan informasi langsung dari masyarakat tidak dilakukan secara menyeluruh kepada masyarakat yang berkepentingan.

Ø Peran serta masyarakat berupa usulan tentang alternatif bentuk dan besarnya ganti kerugian tidak dilakukan secara transparan.

n Tidak mematuhi ketentuan yang diatur dalam Surat Keputusan Bupati Barito Utara nomor 188.45/447/2003 tentang pemberian Ijin Lokasi diktum pertama angka 1, 2, dan angka 6. (karena memang diterbitkan belakangan)

n Tidak mematuhi isi surat Kepala BPN nomor 355.460.42 tertanggal 14 Juli 2003, yang mengharap kesediaan PT.AGU untuk dapat menghadirkan perwakilan dari para pemilik tanah yang terkena lokasi untuk dimintakan pendapat, harapan dan lain-lainnya. ( bunyi butir huruf b)

FAKTA :

n Justru proses pembebasan lahan disamping tidak prosedural juga dilakukan dengan praktek merekayasa dan memanipulasi pemilik dan penjual fiktif.

n Intimidasi dan menakut-nakuti masyarakat/pemilik tanah

n Mengiming-imingi masyarakat dengan tawaran pola kemitraan sehingga ada yang rela menghibah lahan (tanah perkebunan untuk digarap agu).

n Akan tetapi setelah hgu diterbitkan ternyata untuk lahan inti, bukan untuk lahan kemitraan dengan masyarakat.


CATATAN PENUTUP

Fakta dan bukti diatas apabila PT.AGU menambah atau mengelak, berarti kegiatan menggarap/membuka lahan KEMITRAAN dengan MASYARAKAT selama ini, terindikasi hanya dijadikan alibi PT.AGU atas kesalahan melakukan kegiatan sebelum melengkapi perjanjian yang sesuai prosedur. Oleh karena itu gejolak dan aksi serta berbagai masyarakat cukup beralasan termasuk aksi tanggal 2 maret 2007 yang menggagalkan pemasangan patok HGU oleh PT. AGU dan BPN Barito Utara. Saat itu masyarakat menahan pemasangan patok karena merasa PT.AGU dalam proses “melegalisir” HGU lahan pada lahan inti dengan cara membohongi masyarakat serta melanggar ketentuan peraturan yang berlaku.

Kurun waktu 5 (lima) tahun cukup lama bagi masyarakat menunggu keputusan konkrit dari pihak berwenang. Keinginan PT.AGU membuka Lokasi baru untuk lahan kemitraan dengan masyarakat, apabila didukung oleh pembuat kebijakan (Pemerintah) disamping akan menghabiskan sisa hutan yang ada, juga tanah dan perkebunan masyarakat terancam musnah.

Setelah aksi-aksi yang dilakukan masyarakat daei kecamatan Montalat,Gunung Timang dan Teweh tengah pada tanggal 19 November dan dilanjutkan pertemuan pada tanggal 21 november 2007 dengan ketua Tim Penyelesaian antara masyarakat dengan PT.AGU,memberikan sedikit harapan dan pertarungan baru,setelah keluar surat pernyataan bahwa Tim penyelesaian akan mennyelesaiakan segala permasalahan konflik lahan warga yang digarap PT.AGU sampai bulan februari 2008.