Sunday, July 03, 2011

KETIDAKPASTIAN LAHAN MERUPAKAN KENDALA DALAM REHABILITASI PLG

Palangka Raya, 30/9/2010- Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) mengatakan, ketidakpastian lahan atau tenurial merupakan salah satu kendala dalam melakukan rehabilitasi kawasan pengembangan lahan gambut (PLG) Kalteng.

Hal tersebut diungkapkan Biro Umum Provinsi Kalteng, Mursid Marsono ketika membaca kata sambutan gubernur pada seminar penyelesaian masalah penguasaan lahan di Palangka Raya, Kamis.

"Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi berbagai rencana aksi rehabiitasi dan revitalisasi PLG adalah persoalan ketidakpastian penguasaan lahan atau tenurial," ucapnya.

Dia mengatakan, Pada dasarnya semua pihak, baik pemerintah, masyarakat setempat, maupun pihak swasta, berkepentingan terhadap kepastian memperoleh akses dan menguasai lahan maupun sumberdaya alam lainnya di kawasan tersebut.

Adanya kepastian atas hak untuk menguasai pengelolaan sumber daya alam diperlukan agar penghidupan masyarakat, investasi swasta dan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dapat terjamin, terangnya.

Namun fakta dilapangan, konflik dan sengketa merebak luas dikawasan itu, antara lain karena adanya tumpang tindih klaim dan kepentingan yang melibatkan semua pihak baik masyarakat, pemerintah dan perusahaan swasta.

Dikatakan, Mengingat rumit dan kompleknya konflik tenurial itu, perlu dirumuskan suatu kajian yang dapat memberikan gambaran umum tentang akar permasalahan dari ketidakpastian tenurial tersebut.

Serta untuk mengetahui alasan dasar yang digunakan oleh masing-masing aktor yang terlibat dalam melegitimasi klaim mereka serta melihat dampak yang terjadi dari situasi ketidakpastian penguasaan sumber daya alam tersebut, jelasnya.

Harapannya, "dengan adanya kajian tersebut akan meningkatkan pemahaman kita terhadap akar masalah dari konflik tenurial yang saat ini terjadi di kawasan PLG."
Serta mendorong penyelesaian masalah ketidakpastian penguasaan tenurial secara menyeluruh di kawasan tersebut, ujarnya.

DAMANG ADAT JANGAN BUAT SKTA DULU

Palangka Raya, 30/9 - Kanwil Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kalimantan Tengah (Kalteng), mengatakan, Damang Adat jangan buat surat keterangan tanah adat (SKTA) terlebih dahulu.

"Para Damang Adat Kalteng sebaiknya buat SKTA terlebih dahulu sebelum pendataan atau melakukan inventarisir tanah adat," kata kepala bidang Hak-hak Tanah Kanwil BPN setempat, Ahmad Setiawan ketika menghadiri seminar penyelesaian masalah penguasaan lahan di Palangka Raya, Kamis.

Dia mengatakan, sebaiknya dilakukan pendataan atau inventarisir terlebih dahulu tanah-tanah adat yang ada di Kalteng oleh para Damang Adat.

Hal tersebut agar tidak terjadi permasalahan-permasalahan baru menyangkut masalah hak penguasaan lahan yang saat ini banyak terjadi di provinsi itu, ucapnya.

Dia menambahkan, berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalteng dan Peraturan Gubernur (Pergub) nomer 13 tahun 2009 tentang Tanah Adat Kalteng, menjelaskan bahwa diperlukannya pendataan tanah adat.

"Lakukan pendataan tanah adat terlebih dahulu bukan langsung membuat SKTA, karena apabila salah dalam penerapannya maka akan menyebabkan konflik baru," ungkapnya.

Selain itu, dia menambahkan, berdasarkan hasil diskusi pada seminar tersebut terungkap bahwa Perda nomor 16 tahun 2008 dan Pergub nomer 13 tahun 2009 belum tersosialisasikan secara maksimal.

Selain itu, pada seminar tersebut para damang adat mengakui bahwa petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis dalam menjalankan Perda dan Pergub belum dipegang mereka, terangnya.

Menurutnya, BPN bukannya tidak mengakui SKTA yang diterbitkan oleh para Damang, tetapi kita juga harus lihat ketentuan yang berlaku.

Dikatakan, Perda dan Pergub tersebut sudah betul dan telah mengikuti peraturan yang ada tetapi peta wilayah adatnya yang belum ada dan belum terdata.

Sehingga berdasarkan Pergub itu, para Damang Adat diharuskan melakukan pendataan terlebih dahulu tanah-tanah adat diwilayah Kadamangannya, jelasnya.

KEBIJAKAN PEMERINTAH MENYEBABKAN KETIDAKPASTIAN TENURIAL DI PLG

Palangka Raya, 30/9- Organisasi Non-pemerintah (Ornop) Mitra Lingkungan Hidup (Mitra LH) Kalimantan Tengah (Kalteng) mengatakan, penyebab ketidakpastian tenurial di kawasan pengembangan lahan gambut (PLG) karena kebijakan pemerintah.

"Kami telah melakukan studi tenurial atau persoalan ketidakpastian penguasaan lahan, berdasarkan hasil studi tersebut peran kebijakan pemerintahlah yang menyebabkan ketidakpastian itu," kata Direktur Mitra LH, Kussaritano di Palangka Raya, Kamis.

Menurutnya, penyebab utama dari ketidak pastian tenurial tersebut dikarenakan kebijakan pemerintah baik dari pusat maupun daerah maupun daerah menyangkut penguasaan lahan dan sumber-sumber alam yang tumpang tindih.

Kebijakan pemerintah atas lahan dan sumber-sumber alam pada dasarnya mengatur siapa yang boleh memanfaatkan apa, bagaimana prosesnya, untuk kepentingan apa, di mana, dengan cara apa, dalam jangka waktu berapa lama.

Dengan demikian, dia menambahkan, kebijakan ini bertujuan mengatur praktek relasi antara satu orang dengan orang lainnya terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan lahan dan sumber-sumber alam di suatu kawasan atau wilayah.

Tetapi berdasarkan hasil studi tersebut, kebijakan pemerintah menjadi salah satu penyebab ketidakpastian tenurial dimana terlanggarnya hak-hak dari warga masyarakat yang sebelumnya telah menguasai dan memanfaatkan lahan dan sumber daya alam (SDA) di kawasan itu, baik secara individu maupun kelompok, ucapnya.

Menurutnya, banyak kebijakan yang dibuat pemerintah yang tumpang tindih dan dilaksanakan secara tidak konsisten.

Selain itu, kebijakan yang dibuat kadangkala berubah-ubah atau tidak pasti, bertolak belakang antara satu aturan dengan aturan lainnya.

Dia memberikan contoh, "tentang sengketa terkait dengan kebijakan penataan ruang dimana terjadi ketidakpastian tenurial di Kawasan PLG terkait dengan sengketa antara Kemenhut dan pemerintah daerah Kalteng tentang usulan RTRWP Kalteng."
Cotoh lainnya yaitu dengan terbitnya Inpres nomor 2 tahun 2007, dimana setiap sektor pemerintah membuat rancangan kebijakan pemanfaatan ruang tanpa disertai konsultasi yang memadai dengan sektor lainnya, baik dengan pemerintah daerah terkait maupun masyarakat setempat.

Belum lagi dengan terbitnya ijin-ijin perkebunan skala besar dan tambang di kawasan PLG, dimana hal tersebut akhirnya menyebabkan terjadinya sebuah sengketa lahan antara masyarakat dengan investor, terangnya.

Berbagai sengketa terkait akses, kontrol, penguasaan, dan kepemilikan lahan dan SDA adalah akar masalah dari ketidakpastian tenurial di kawasan PLG.

"Sengketa itu dipicu oleh kebijakan pemerintah yang tumpang tindih, bias sektor tertentu, bertolak belakang dan tidak memberikan perlindungan memadai pada pihak yang posisinya tidak beruntung secara ekonomi, sosial, dan politik," ungkapnya.

TERDAPAT TIGA PERMASALAHAN BIOLOGI PERAIRAN KALTENG

Palangka Raya, 11/10 (ANTARA) - Guru Besar program studi manajemen sumber daya perairan Fakultas Pertanian Universitas palangka Raya (Unpar), Prof Sulmin Gumiri, mengatakan, terdapat tiga permasalahan biologi perairan di Kalimantan Tengah (Kalteng).
Hal itu diungkapkannya ketika menjadi narasumber semiloka penguatan networking pusat penelitian lingkungan hidup (PPLH) lembaga penelitian (Lemlit) Unpar di Palangka Raya, Senin.
"ketiga permasalahan itu dapat mengganggu kondisi biologi perairan di Kalteng apabila tidak segera diatasi," ucapnya.
Permasalahan pertama adalah terjadinya perubahan tata air atau hidrologi dan fisik badan perairan akibat adanya perubahan iklim yang sangat ekstrim.
Perubahan ekstrim pola curah hujan telah menyebabkan fluktuasi debit air sungai yang sangat tinggi, sedangkan kemarau berkepanjangan dapat mengurangi debit air, ungkapnya.
"Hal itu juga diperparah dengan adanya kanalisasi atau pembuatan kanal-kanal di rawa, dimana dapat mengurangi ketersediaan habitat bagi berbagai jenis organisme perairan khususnya ikan," terangnya.
Permasalahan kedua adalah terjadinya pembukaan hutan atau deforestasi, penebangan hutan di pinggir sungai dan danau serta rawa tidak saja mengganggu fungsi hidrologi, tetapi akan mengurangi fungsi vegetasi atau kehidupan dunia tumbuh-tumbuhan sebagai sumber energi bagi kehidupan di perairan.
"Pesatnya laju pembangunan di kalteng telah berdampak kepada cepatnya laju deforestasi dan tata perubahan tata guna lahan," tegasnya.
Sedangkan permasalahan terakhir adalah terjadinya pencemaran perariran, pencemaran ini berasal dari kegiatan penambangan dan juga limbah domestik (rumah tangga) yang dibuang ke perairan.
Perairan yang tercemar berpengaruh kepada kehidupan biologis didalamnya, "organisme perairan yang tidak toleran terhadap pencemaran akan musnah, sedangkan yang bisa bertahan menjadi tidak layak untuk dikonsumsi akibat dampak dari pencemaran itu," jelasnya.
Dikatakannya, kebijakan Pemerintah Provinsi Kalteng yang telah mencanangkan Kalteng sebagai Green Province hendaknya ditindaklanjuti dengan kebijakan konkrit tentang pengaturan pemanfaatan lahan disekitar badan atau sempadan perairan.
"Jika kita ingin tetap menjaga kelestarian sumberdaya biologi perairan, maka kita harus menjaga kelestarian vegetasi di sekitar yang perairan berfungsi sebagai penyuplai energi utama bagi berbagai jenis organisme perairan khususnya ikan," demikian Sulmin Gumiri.

PEJABAT YANG MEMBIARKAN PERUSAHAAN NAKAL BISA DITINDAK

Palangka Raya, 18/10 (ANTARA) - Menteri Negara Lingkungan Hidup, Gusti Muhammad Hatta mengatakan para pejabat yang sifatnya membiarkan perusahaan nakal dapat ditindak.
"Berdasarkan Undang-undang 32 tahun 2009, pejabat yang sifatnya membiarkan perusahaan nakal dapat ditindak tegas, apalagi perusahaan itu mengakibatkan rusaknya lingkungan," katanya ketika diwawancarai sejumlah wartawan di Palangka Raya, Senin.
Menurutnya, Undang-undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur dengan jelas dan tegas berbeda dengan undang-undang 23 tahun 1992.
Pada undang-undang tersebut tidak hanya menindak para perusahaan nakal, tetapi para pejabat pemerintah baik dari Bupati, Gubernur, Menteri bahkan para Deputipun dapat terkena sanksi apabila terbukti membuat kesalahan, terangnya.
"Jadi jangankan para pejabat yang sembarangan memberikan ijin yang akan ditindak, pejabat yang sifatnya membiarkanpun akan terkena undang-undang itu," tegasnya.
Dia memberikan contoh, "seperti ketika dilakukan ispeksi mendadak (sidak) di daerah Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan, tampak banyak pejabat yang membiarkan perusahaan nakal yang melakukan perusakan lingkungan, itu tidak benar dan harus ditindak."
Ketika ditanya para wartawan tentang banyaknya perusahaan yang tidak memiliki analisis dampak lingkungan dan tetap beroperasi, dia menjawab, "itu salah dan harus ditindak atau dibina, jangan biarkan itu terjadi."
Dia menjelaskan, akan ada program untuk melakukan evaluasi terhadap amdal-amdal yang copy paste dan melakukan audit lingkungan terhadap para perusahaan.
Selain itu, akan dilakukan uji kelayakan bagi para konsultan dan pembuat amdal.
"Sekarang kita harus ketat dalam melakukan pembuatan amdal dan para pembuat amdalpun akan diuji kelayakannya," terangnya.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup juga akan memberikan kode bagi para perusahaan, kode hitam untuk yang nakal, kode merah yang masih bisa ditolerir dan yang berwarna hijau adalah perusahaan yang baik dan sesuai prosedur baik perijinannya dan pengolah produksinya.
Perusahaan-perusahaan yang nakal akan diberikan sanksi apabila melakukan kesalahan, baik dari sanksi administrasi, perdata dan pidana, ungkapnya.
Apabila perusahaan tersebut dapat ditolerir kesalahannya maka akan dibina dan diminta untuk memperbaiki managemen perusahaan tersebut agar lebih baik lagi.
Ketika ditanya lagi apakah di Kalteng terdapat perusahaan yang nakal, Gusti mengatakan, "silahkan kawan-kawan wartawan lihat di website kami, disitu tertera jelas perusahaan apa saja dan darimana saja yang nakal, kami terbuka dan tidak akan menutup-nutupi hal itu.

PANGDAM TANJUNGPURA: MARI KEMBANGKAN PERTANIAN DAN TEKNOLOGINYA

Palangka Raya, 22/10 (ANTARA) - Jumlah penduduk Indonesia yang saat ini lebih dari 200juta jiwa tentu semakin membutuhkan bahan pangan yang tidak sedikit, dalam peningkatan produksi pertanian dalam memenuhi bahan pangan itu, mari kembangkan pertanian dan teknologinya.
Hal itu diungkapkan Kasdam XII Tanjungpura, Brigadir Jenderal (Brigjen) Aramin Ali Anyang ketika membacakan kata sambutan Panglima Kodam (Pangdam) XII Tanjungpura, Mayor Jenderal (Mayjen) Moeldoko pada pembukaan Pesta Tani (Pestani) di Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng), Jumat.
"Jumlah penduduk yang lebih dari 200juta jiwa tersebut, tentunya menuntut pemerintah untuk senantiasa memprioritaskan pada upaya peningkatan produksi pertanian dengan jumlah yang cukup dan harga yang terjangkau," ucapnya.
Namun disisi lain terdapat banyak kendala dilapangan yang tentunya sangat komplek, baik dari sisi teknologi, produksi dan kendala pemasaran bagi para petani.
Menurutnya, dalam mengatasi hal tesebut, salah satu altenatif upaya yang dilakukan antara lain dengan mengembangkan berbagai varietas tanaman yang saat ini telah dilaksanakan diberbagai daerah.
Selain itu, diperlukan peningkatan sumber daya manusia melalui berbagai macam pelatihan dalam menggunakan teknologi pertanian yang modern dimana saat ini telah menjamur dan merambah keseluruh daerah di Indoesia.
Harapannya, para peserta yang mengikuti acara Pestani ini dapat menyerap seluruh ilmu pengetahuan yang diberikan pada acara tersebut, sehingga nantinya dapat diimplementasikan didaerahnya.
"Sehingga dapat meningkatkan produktivitas hasil pertanian para petani dimasa yang akan datang, guna mendukung dan membantu pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dibidang ketahanan pangan melalui program pertanian," demikian Amarin Ali.

JAKARTA TIDAK EFISIEN JADI IBU KOTA PEMERINTAHAN

Palangka Raya, 20/11 (ANTARA) - Wacana pemindahan Ibu Kota Pemerintahan Republik Indonesia (RI) kembali terlontarkan oleh ahli ekonomi Indonesia, DR Drajad Wibowo.
"Jakarta sudah tidak efisien sebagai ibu kota itu iya, saya sebagai ekonom tahu betu kondisi Jakarta saat ini sungguh padat," ucapnya setelah menghadiri pelantikan Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) dan Musyawarah Daerah (Musda) Partai Amanat Nasional (PAN) di Palangka Raya, Sabtu.
Menurutnya, kondisi Jakarta saat ini tidak efisien untuk kerja-kerja pemerintah pusat ketika harus berkoordinasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan elemen terkait lainnya.
"Bayangkan saja, ketika ingin rapat pemerintah dengan DPR saja bisa menempuh waktu satu jam bahkan lebih padahal lokasinya berdekatan, sehingga tidak jarang Menteri harus menyediakan lokasi yang berdekatan dengan senayan untuk rapat," ucapnya.
Dia mengatakan, pemindahan Ibu Kota pemerintahan disadari akan memakan biaya besar dan banyak faktor yang harus diperhitungkan secara matang.
Selain itu, wacana pemindahan Ibu Kota diperlukan evaluasi dan kajian-kajian yang sangat mendalam terlebih dahulu, baik kajian sosial, ekonomi, budaya dan hal lainnya.
"Secara pribadi saya sangat setuju apabila adanya pemisahan Ibu Kota pemerintahan dengan Ibu Kota bisnis (pusat perekonomian) seperti apa yang dilakukan Australia, Brazil, Malaysia dan negara lainnya," terangnya.
Bahkan apabila dimungkinkan, dia menambahkan, pusat pemerintahan dapat digabungkan dengan kantor DPR, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menjadi satu komplek untuk mempermudah kerja-kerja pemerintah untuk melakukan koordinasi.
"Mungkin apabila Istana Negara, DPR, DPD serta kantor pemerintahan dapat digabungkan jadi satu komplek maka akan mempermudah kerja pemerintah juga," ungkapnya.
Ketika ditanya tentang kesiapan Kota Palangka Raya untuk menjadi Ibu Kota pemerintahan oleh wartawan, dia mengatakan, Palangka Raya jadi Ibu Kota pemerintahan RI merupakan wacana yang telah lama dikemukan sehingga wajar kota tersebut menjadi salah satu perhitungan.
Ketika ditanya kembali apakah secara pribadi dia setuju apabila Ibu Kota dipindahkan ke Palangka Raya, dia menjawab, "saya belum melihat Palangka Raya secara utuh, jalan-jalan saja saya tidak, jadi saya belum tahu di daerah mana yang tepat untuk dijadikan Ibu Kota," tandasnya.

WALHI KAMPANYE REDD DI AUSTRALIA

Palangka Raya, 4/11 (ANTARA) - Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Arie Rompas mengatakan, Walhi akan berkampanye tetang Reduction Emission Deforestation and Degradation (REDD) di Australia.
Walhi bekerja sama dengan Friend of the Earth Australia mengadakan REDD speaking tour ke Australia di 4 kota besar (Melbourne, Brisbane, Canbera dan Sydney) dan mengagendakan bertemu dengan masyarakat Australia, Akademisi, Media Massa dan anggota parlemen untuk mengkampanyekan tentang pentingnya konteks keadilan dalam solusi perubahan ikilm dan ancaman atas skema REDD bagi masyarakat lokal, ucapnya di Palangka Raya.
Dia mengatakan, kegiatan REDD Speaking Tour ini dilaksanakan pada tanggal 5- 20 november 2010 dan ikuti oleh Teguh Surya (Kepala Departemen Advokasi Dan Jaringan Walhi), Arie Rompas (Direktur Ekskutif Walhi Kalteng) dan Muliadi (Masyarakat).
Menurutnya, kampanye Walhi di Australia akan mengangkat tentang akar persoalan dari perubahan iklim, dimana paradigma pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi yang rakus akan energi dan mengekploitasi sumber daya alam untuk pemenuhan industri negara-negara maju
Disisi lain negara-negara selatan termasuk indonesia yang memiliki hutan tropis juga ikut menyumbang atas pelepasan emisi karena tingginya degradasi dan deforestasi hutan akibat pengundulan dan kebakaran hutan.
Solusi yang dikeluarkan lebih menguntungkan negara maju dan tidak pernah mengarah kepada penyebab utama meningkatnya emisi gas rumah kaca diatmosfer namun dialihkan dengan skema perdagangan karbon.
"Dimana hal itu, merupakan bentuk pengalihan tanggung jawab negara maju dan pihak swasta untuk memperoleh keuntungan dari issue perubahan iklim malalui skema perdagangan karbon ini, terangnya.
Solusi perubahan iklim seharusnya menghargai hak untuk mendapatkan keadilan antar generasi atas prinsip-prinsip keselamatan rakyat, pemulihan keberlanjutan layanan alam, dan perlindungan produktifitas rakyat.
Dimana semua generasi baik sekarang maupun mendatang berhak terselamatkan akibat dampak perubahan iklim dan mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim secara berkeadilan tanpa menafikan hak-hak yang melekat bagi setiap individu untuk hidup bebas tanpa ancaman tersingkirkan dari tanah sendiri.
"Jangan biarkan skema perdagangan karbon yang akan berjalan di Indonesia akan mengakibatkan kerugian baru dan mengancam masyarakat lokal tersingkirkan dari tanahnya sendiri," demikian Arie Rompas.

PENYEBARAN INFORMASI MENGENAI PERKEBUNAN SAWIT BELUM BERIMBANG

Palangkaraya, 29/8 (ANTARA). Dewan daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kalimantan Tengah (Kalteng), Safrudin Mahendra, mengatakan, penyebaran informasi seputar pengembangan perkebunan sawit masih belum berimbang antara sisi positif dan negatif investasi tersebut.

"Penyebaran informasi mengenai pengembangan perkebuanan sawit lebih banyak mengulas sisi positifnya sedangkan untuk dampak negatif kurang terangkat ke media informasi," katanya, di Palangkaraya, Minggu.

Menurutnya, pemberitaan tentang pembangunan yang berdampak terhadap kemakmuran dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia akibat keberadaan dan perluasan kebun sawit kerap menjadi sorotan utama.

Ungkapan-ungkapan fantastis seperti, “Indonesia Negara penghasil Minyak Sawit Terbesar di Dunia” dan “Perkebunan Sawit Ciptakan Lapangan Kerja serta Tingkatkan Kemakmuran” kerap tertulis di berbagai media informasi, ucapnya.

Dia menambahkan, ungkapan itu diikuti dengan penyebetan angka yang fantastis, misalkan,”sektor sawit raih keuntungan senilai 9,11miliar dollar Amerika.” atau “perkebunan sawit mampu Serap empat juta tenaga kerja” dan “hampir tiga juta hektare kebun sawit di Indonesia dimiliki oleh petani.”

Dia mengungkapkan, dibalik prestasi perkebunan sawit, ternyata terselip banyak cerita duka dan nestapa, duka masyarakat adat yang tergusur dari lahannya akibat perluasan kebun sawit.
Juga tidak sedikit petani yang melakukan demonstrasi ketika harga bibit, pupuk, tandan buah sawit serta jumlah utang yang dibebankan padanya ternyata dibuat secara sepihak oleh perusahaan dan didukung oleh pemerintah, ucapnya.

Dia menambahkan, nestapa jutaan buruh yang bekerja di kebun sawit hanya berstatus buruh harian lepas tanpa upah yang layak, perlindungan kerja yang optimal dan kerap dilecehkan keberadaannya.
Menurutnya, apabila ketiga kelompok tersebut melakukan tindakan demi menuntut haknya, maka proses kriminalisasi pasti akan diberlakukan terhadap mereka.

Selain itu, kabut asap akibat pembakaran lahan demi pembangunan kebun sawit dan banjir yang melanda ketika musim penghujan tiba akibat konversi hutan/ lindung serta daerah aliran sungai menjadi kebun sawit juga tidak pernah diberitakan, ungkapnya.

Maraknya penerbitan dan pembagian informasi yang didasarkan pada kepentingan tertentu, terutama kepentingan modal dan kekuasaan pilitik, membuat informasi seakan-akan menjadi sepihak saja.

Akibatnya adalah, informasi hanya menjadi alat propaganda belaka bahkan cenderung berlebihan dan penuh manipulasi demi kepentingan kelompok bisnis dan kekuasaan politik tersebut.

Menurutnya, informasi adalah kumpulan data dan fakta dari dinamika atau perubahan sosial dan perkembangan ilmu pengetahuan, kumpulan data dan fakta tersebut apabila dikumpulkan dapat disajikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk informasi.

Tujuan informasi adalah pencerahan wacana masyarakat demi sebuah penyadaran untuk perubahan hidup, sedangkan esensi dari informasi adalah pencerahan dan perubahan hidup yang mengandung nilai kebenaran dan keadilan dalam pemenuhan naluri kesadaran manusia, demikian Safrudin.